Rabu, 22 September 2010

Obor dan Pelita Jadi Lentera Desa ku

Siang hari, di desa “peteng” matahari menjulang tinggi di langit, tegap dan tegas menyumbangkan sinarnya ke seluruh pelosok-pelosok desa, hamparan sawah-sawah, hingga rumah-rumah reot yang sudah usang dan tua. Seperti biasa siang itu bapak ku dan orang-orang tua lainnya masih sibuk disawah, mencangkul, menggarap, dan membajak. Nampak keringat-keringat mereka sudah seperti hujan-hujan rejeki yang menyuburkan tanah-tanah, kulit-kulit mereka yang kian gosong terpanggang matahari, dan tubuh-tubuh lunglai mereka yang sudah terlihat capek dan lemah.
Hingga, azan zuhur pun menhentikan sejenak pekerjaan mereka, yang kemudian berteduh di gubuk kecil yang hanya terbuat dari bambu dan tumpukan daun-daun kering. Sembari mengistirahatkan otot-otot yang tegang dan lelah. Bapak merebahkan dirinya, menghela nafas panjang dan mengelap banjir keringat di sekujur tubuhnya. Di temani ibu yang sudah siap dengan air putih penyegar dahaga, dan santap siang nan sederhana untuk bapak,
“capek ya pak?” Tanya ibu kepada bapak yang telihat lelah sekali.
“ya udah biasalah bu, capek kayak gini, begitulah nasib orang-orang kayak kita” jawab bapak, sambil masih rebahan
“Ya sudah ini di minum dulu pak biar seger, trus itu makanannya dimakan ya”
“ya bu, o ya jangan lupa itu pelitanya di isi minyak tanah, biar nanti malam anak-anak bisa belajar”, kata bapak
“ya pak tadi uis aku isi”
Kini lapang dahaga telah basah, perut pun telah terisi, tinggal sholat yang harus di tunaikan, kemudian para petani pun pulang ke rumah masing-masing termasuk bapak dan ibu.
***
Di rumah kecil itu kami tinggal berlima, termasuk aku dan dua orang adik ku, aku kini masih duduk di kelas 2 sma, sedang adik ku yang pertama, asti duduk di kelas 3 smp, dan si kecil abdul yang belum bersekolah. Kami tinggal di tempat yang bisa dibilang sangat-sangat lah sederhana, di desa kecil nun jauh dari ibu kota yang mewah. Bahkan hampir Setiap hari pun aku dan adik ku harus berjalan sekitar 4 kilo meter untuk sampai di sekolah kami, yang tentunya juga sangat sederhana dan penuh keterbatasan. Tapi, itu tidaklah menyurutkan langkah kami untuk bisa menuntut ilmu, bapak pun sering berpesan,
“anak-anak dengar ya... meskipun kondisi kita sulit seperti ini, dan serba kekurangan. Tapi, kalian jangan pernah putus asa dan berhenti untuk menuntut ilmu. Bapak hanya ingin kalian jauh lebih baik dari bapak atau ibu yang bodoh dan tak berpendidikan”.
Bapak selalu memotivasi kami untuk tidak mengeluh dan terus bersemangat untuk bisa lebih baik lagi.
Usai sholat dan beristirahat sejenak, bapak kemudian kembali ke sawah untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti hingga nanti menjelang ashar. Kemudian ibu sendiri memotong- motong sayur di dapur di bantu asti. Sedang, aku sendiri membelah bilah-bilah kayu dan bambu untuk nantinya dijadikan kayu bakar, sambil sedikit di bantu oleh si kecil abdul.
***
Hari telah semakin sore, bapak telah pulang, lalu mandi dan sholat ashar. Di susul Warna merah fajar semakin terguling ke ufuk barat, burung-burung pun mulai pulang ke sarang mereka masing-masing. Ayam-ayam pun juga mulai di giring ke kandangnya.
Dan fajar pun terbenam, di susul lantunan azan dari mushola kecil sayup-sayup terdengar merdu. Obor-obor penerang jalan mulai di nyalakan, tak lupa pelita-pelita kecil sederhana dari botol bekas minuman sebagai lampu sederhana rumah ku juga dinyalakan. Begitulah setiap hari dan setiap malam keadaan di desa ku. Tanpa lampu terang barcahaya, namun hanya berlenterakan obor-obor dan pelita yang redup.
Pun suara azan yang lantang terdengar itu adalah karena panel surya sumbangan pak camat untuk mushola kecil kami. Karena memang tak ada listrik di desa kami, jika pun ada itu adalah panel-panel surya beberapa orang penduduk yang sedikit punya kelebihan. Itu pun hanya barang bekas. Sedang keluarga ku bukan lah keluarga yang punya kelebihan. Untuk makan dan biaya aku dan adik-adik ku pun bapak harus banting tulang, memeras keringat dan belesu-lesu payah.
Bukan cuma kami saja, tapi juga mayoritas penduduk desa “peteng” memang mengalami nasib yang sama. Hidup dalam keterbatasan, apa adanya, tanpa kemewahan dan keglamoran sedikit pun. Ini memang sudah jadi takdir kami dan desa kecil ini, yang hanya terang ketika siang, namun gelap gulita ketika malam.
Aku hanya selalu bisa berharap, pada setiap janji-janji para pemimpin yang pernah mengunjungi desa kami. Janji mereka untuk mengalirkan listrik sebagai penerang di waktu malam. Namun sayang, janji tinggal janji, harapan juga tinggal harapan. Hingga kini tak pernah ada listrik yang pernah masuk desa kami. Dan rasanya sudah bosan mengharapkan mereka lagi, mungkin hanya ALLAH lah tempat yang paling tepat berharap bagi kami.
Di sela-sela nyala api pelita itu, yang merah dan berasap hitam. Aku mulai membuka buku-buku pelajaran, sekedar mengerjakan tugas sekolah atau belajar untuk pelajaran esok hari. Meskipun kadang sering terhenti, karena rasa sakit yang mulai timbul di mata. Ini mungkin akibat cahaya yang kurang di setiap malam. Karena kami hanya memakai pelita yang cahayanya tak lebih terang dari lampu pijar sekalipun, hanya ada nyala api kecil saja.
Tapi kami sudah terbiasa menerima ini. Karena bapak di sela-sela keluhan kami selalu berkata,
“nak, janganlah berkeluh kesah karena apa yang kita terima tak sebanding dengan apa yang kita ingin kan,bersyukurlah. Karena bisa jadi masih banyak orang-orang di luar sana yang kondisinya jauh lebih memperihatinkan dibanding kita. Untuk itu kalian terus lah belajar yang giat untuk bisa lebih baik lagi dari keadaan ini. Dan mungkin kamulah yang nantinya yang akan merubah nasib keluarga kita dan desa ini”.
Kata-kata bapak selalu menyemangati kami, agar kami tak terus larut dalam keluhan dan kegelapan ini. Dan terus berusaha jadi lebih baik, meskipun keadaan tak lebih baik. Untuk itu aku selalu punya impian,
“aku memang pemuda biasa, dari keluarga yang amat biasa, dari keadaan yang sangat biasa, tapi aku ingin menjadi orang yang luar biasa”.

0 komentar: